VIVAnews -- Ada simbol persatuan yang diperlihatkan dalam ritual haji. Di mana jutaan orang salat dengan serentak menghadap ke satu titik, Ka'bah. Namun bukan berarti menyembah batu kubus itu. Begitu pula yang dilakukan umat muslim di pelosok dunia. Salat menghadap kiblat.
Namun, salat tak hanya dilakukan di Bumi. Penjelajahan manusia ke luar angkasa memungkinkan ibadah wajib umat Islam itu dilakukan di luar angkasa. Entah sebagai astronot mengemban tugas negara dan ilmu pengetahuan, atau sebagai turis.
Lantas yang jadi pertanyaan, menghadap ke mana jika seorang muslim berada di luar Bumi?
Pertanyaan itu pernah mengemuka saat astronot pertama asal Malaysia, Sheikh Muszaphar Shukor pergi ke luar angkasa 10 Oktober 2007 lalu, menumpang pesawat luar angkasa Rusia, Soyuz.
Perjalanan Shukor ke luar angkasa selama enam hari di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) bertepatan dengan Bulan Ramadan. Ia seorang muslim taat yang ingin menunaikan kewajiban salatnya tetap menghadap Mekah.
Itu yang menjadi masalah, ISS yang mengorbit 220 mil atau sekitar 354 kilometer di atas permukaan Bumi, di mana kiblat berubah dalah hitungan detik. Arah Ka'bah bahkan bisa berubah 180 derajat hanya dalam sekali salat.
Lembaga Antariksa Malaysia, Angkasa langsung menggelar sebuah konferensi yang diikuti 150 ilmuwan Islam untuk memecahkan masalah ini. Hasilnya, panduan beribadah di ISS yang disetujui komisi fatwa negeri jiran, kiblat bisa ditentukan berdasarkan "peluang" para astronot. Prioritasnya, dari yang utama adalah: Ka'bah, proyeksi Ka'bah, Bumi, menghadap ke manapun.